Sabtu, 02 November 2013

Cinta Kasih Terbukti Lebih Kuat Daripada Maut



PERISTIWA ini sungguh terjadi. Di Amish, Nickel Mines, Pennsylvania-AS.
Pagi 5 Oktober 2006, dua puluh lima anak sedang belajar di sekolah setempat. Bangunan satu ruang itu berstruktur seperti gudang dengan menara lonceng sederhana dan serambi depan yang ditunjang oleh batang-batang baja. Sekolah itu, yang sepolos kertas buku catatan, mencerminkan nilai-nilai komunitas Amish yang mendidik anak-anaknya di sana. Kaum Amish berasal dari keturunan komunitas orang Swiss Kristen yang anti-kekerasan. Selama abad ke-16 dan ke-17, mereka ini meninggalkan ciri-ciri keduniawian.

Pagi itu, di tengah-tengah kaum Amish, muncullah kegilaan dunia yang terburuk. Pada jam 09:51 waktu setempat, Charles Carl Roberts IV, tukang susu 32 tahun, menerobos ke sekolah kaum Amish di Nickel Mines Barat dan membuyarkan ketenangan komunitas. Sejak lama ia merencanakan kekerasan yang akan dilakukannya, dan ia datang dengan segala persiapan. Dibawanya senapan ukuran 12, pistol 9 mm, senapan bolt-action 30-06, sejumlah amunisi, senjata sengat listrik, dan dua bilah pisau. Dibawanya juga peralatan serta perlengkapan gedung.
Ia menyuruh para gadis muda berbaris cepat-cepat di depan papan tulis. Kemudian diperintahkannya Emma Mae Zook, guru mereka, membawa keluar kelima belas murid pria, seorang wanita hamil, dan tiga orang ibu yang menggendong bayi. Setelah mereka keluar, Charles Roberts menggunakan peralatan dari papan 2 x 6 dan 2 x 4 yang dibawanya sebagai barikadenya di dalam. Dengan tali lentur diikatnya tangan dan kaki para gadis muda yang berusia antara 6 – 13 tahun itu.

Ia rupanya tak diburu waktu. Ia menghubungi istrinya lewat ponsel dan mengaku, serta menjelaskan surat bunuh diri yang ditinggalkannya di rumah, bahwa 20 tahun yang lalu ia telah melecehkan dua orang anak kerabat. Cerita ini agaknya khayalan. Ia juga berbicara tentang kesedihannya atas kematian bayi perempuan mereka. Ketika para gadis Amish bertanya mengapa Roberts hendak mencelakakan mereka, ia menjawab bahwa ia marah kepada Allah.
Tanggapan komunitas Amish lebih cepat daripada yang diantisipasi Roberts, dan para siswi pun membuatnya mengubah rencana. Rencana Roberts untuk melecehkan para gadis agaknya nyata dari perlengkapan yang dibawanya. Tetapi Emma Mae Zook, sang guru, lari ke ladang pertanian tetangga dan menghubungi polisi pada jam 10:36.

Sembilan menit kemudian polisi tiba dengan armadanya. Mereka berbicara kepada Roberts lewat pengeras suara di mobil patroli mereka. Roberts menjawab bahwa jika dalam dua detik orang-orang polisi tidak menarik diri keluar dari area itu, ia akan membunuh setiap orang.
Gadis yang tertua, Marian Fisher, angkat suara. Bahasa ibu kaum Amish adalah bahasaJerman Swiss, tetapi Marian memakai bahasa Inggris sebaik yang bisa diucapkannya. Ia memohon, “Tembaklah saya dan biarlah yang lain bebas.” Barbie, saudara pcrempuan Marian yang baru berusia 11 tahun, minta ditembak setelah Marian. Mereka memperlihatkan kasih terbesar yang mungkin diperlihatkan manusia.

Karena bingung oleh keberanian para gadis dan kehadiran polisi, Roberts berusaha membunuh kesepuluh gadis itu. Dimuntahkannya peluru secepat mungkin kepada mereka.
Mendengar suara tembakan, polisi menyerbu ke dalam bangunan. Dengan satu tembakan terakhir, Roberts menghabisi nyawanya sendiri sebelum tertangkap.

Meskipun Roberts menembak kesepuluh anak itu dari jarak dekat, dan beberapa di antaranya berkali-kali, ia tidak sepenuhnya berhasil menuntut balas kepada Allah seperti rencananya. Lima anak tetap hidup. Barbie, saudara perempuan Marian, salah satunya. Darinyalah diketahui sebagian detil kejadian di sekolah pada hari ang mengerikan itu.

Kematian Charles Roberts terasa menyedihkan hanya karena ia tidak bisa dituntut lagi.

Tetapi di situlah ceritanya membelok ke arah yang tak terduga. Seluruh komunitas Amish mengikuti jejak Marian Fisher muda yang rela berkorban dan mengasihi sesama. Kalau Charles Roberts memilih melampiaskan amarah kepada orang yang tak berdosa, kaum Amish memilih melimpahkan pengampunan kepada orang yang bersalah. Klip video warta berita TV menunjukkan iring-iringan kereta kuda kaum Amish di sepanjang jalan utama Nickel Mines menuju pemakaman anak-anak yang terbunuh. Pemandangannya tajam dan indah.
Tetapi yang melekat di benak adalah gambar pria dan wanita Amish yang menghadiri pemakaman Charles Roberts di sebuah gereja Metodis, gereja istrinya. Mereka menegaskan bahwa mereka tidak berhak mcnghakimi dia. Para pemimpin kaum Amish bahkan meminta agar komunitasnya tidak menganggap Roberts jahat.

Kaum Amish juga mengulurkan tangan kepada Marie Roberts dan anak-anaknya. Mereka mengundang keluarga itu hadir di pemakaman para gadis—karena Alkitab menyuruh menangis dengan orang yang menangis, dan keluarga Roberts sedang menangisi kehilangan mereka. Uang berdatangan untuk menutupi biaya perawatan medis para gadis yang terluka. Para pemimpin komunitas Amish menentukan agar darinya diambil dana untuk mengurus janda dan ketiga anak sang pernbunuh.
Pengorbanan kasih dan pengampunan yang menakjubkan, dan sungguh sulit dipahami. Tapi itulah pengajaran dan hidup Yesus, “Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu.” (Matius 5:44). Dalam peristiwa tragis terbunuhnya anak-anak mereka, kaum Amish mempraktikkan kasih yang seharusnya dipraktikkan setiap orang Kristen.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar