Jumat, 27 Juni 2014

BERBAGAI ILUSTRASI KHOTBAH

 

 

 

Bahaya Individualisme

Saudara-Saudara, saya pernah membaca sebuah cerita dongeng dari negeri Tiongkok. Alkisah ada orang tua yang memiliki tujuh orang anak kembar. Setiap anak diberikan kekuatan ajaib oleh orang tuanya. Ada yang memiliki kekuatan api, tanah, air, angin dan lain sebagainya. Suatu kali orang tuanya memberikan suatu tugas khusus kepada anak-anak-Nya. 
Untuk menyelesaikan tugas ini, mereka harus bekerja sama dan menggunakan kekuatan mereka masing-masing. Sebelum menyelesaikan tugas tersebut, menguji coba dulu kekuatan mereka. Masing-masing menunjukkan kekuatan mereka. Ketika melihat saudara kembarnya yang lain, yang satu mulai berpikir bahwa kekuatan dirinyalah yang lebih baik dari yang lain. Kemudian masing-masing menganggap diri mereka lebih unggul dari yang lainnya. 
Mereka mulai memandang negatif saudara kembar yang lainnya. Mereka mulai adu kekuatan dan saling melukai. Mereka sibuk dengan urusan mereka sendiri dan melupakan tugas yang diberikan oleh orang tuanya yang harus mereka kerjakan bersama-sama.
Saudara-Saudara, ketujuh anak kembar ini lupa bahwa mereka adalah saudara kembar, yang mempunyai orang tua yang sama. Kekuatan yang berasal dari orang tua mereka. Mereka juga lupa untuk menyelesaikan tugas mereka. Sebenarnya di mana letak permasalahannya sehingga mereka bisa melupakan semuanya itu? 
Masalahnya berawal ketika ketujuh anak kembar ini memiliki pikiran bahwa diri mereka sendirilah yang paling hebat. Ketika mereka mulai mengeksklusifan diri mereka.
Saudara-Saudara, dari cerita ini, kita bisa menarik sesuatu yang baik, bahwa dengan mengeksklusifkan diri itu dapat menimbulkan masalah. Kita harus waspada karena kita bisa saja terjebak pada pemikiran yang sama, bahwa bisa saja kita menganggap bahwa saya atau kelompok saya lebih baik dari yang lain. Cerita ketujuh anak kembar ini ingin menyampaikan masalah moralitas saja. Tuhan Yesus tidak menginginkan kita untuk memiliki karakter yang mengeksklusifkan diri dari sesama orang percaya.

Kasih Sejati

John dan Andy bersahabat sejak kecil.  Saat mereka remaja, pecahlah perang dunia kedua.  Mereka berdua harus ikut wajib militer.  Mereka ditugaskan di garis depan medan perang.  Pada suatu pagi yang berkabut, kapten mereka memimpin mereka untuk menyerang markas musuh.  Namun, sinar matahari telah menghapus kabut itu sebelum mereka sampai di dekat markas musuh.  Mereka pun langsung terlihat oleh musuh.  Musuh segera menembak mereka secara membabi buta.  Mereka kemudian berusaha lari menyelamatkan diri, termasuk John dan Andy.  Sesampainya di markas, ternyata John tidak ada.  Andy segera meminta ijin kepada kaptennya untuk mencari Andy di daerah musuh.  Tentu saja kapten itu menolak karena itu sangat berbahaya.  Bisa jadi John juga telah meninggal.  Namun, Andy tidak menghiraukan larangan kaptennya.  Ia pergi mencari John. 
Setengah jam kemudian Andy kembali dengan berlumuran darah.  Sang kapten pun marah besar dan berkata: “Apa kubilang, John sudah mati dan kau pun tertembak.  Sungguh sia-sia”  Andy berkata: “Tidak sia-sia, karena aku mendengar kata-kata terakhirnya”  Karena penasaran, sang kapten bertanya lagi” “Memangnya apa yang ia katakan sampai kau rela mempertaruhkan nyawamu?”  
John berkata: “Saya tahu kau pasti akan kembali mencariku, aku mengasihimu sahabatku”  Dia mengatakannya sambil tersenyum puas.  Oleh karena kasihnya kepada John, Andy rela mempertaruhkan nyawanya untuk mencari sahabatnya ini.  Memang usaha Andy ini tampaknya sia-sia karena Andy tertembak dan John meninggal.  Namun, sebenarnya hal ini tidak sia-sia karena sampai akhir hidupnya, John melihat bahwa Andy, sahabatnya ini tetap mengasihi dia.

 
Ada dua orang pria yang bersahabat.  Mereka bernama Albert Durer dan Hans.  Mereka ingin sekali masuk ke sekolah seni lukis dan pahat.  Masalahnya, mereka tidak mempunyai uang.  Kemudian Hans mempunyai ide untuk mengatasi masalah tersebut.  Hans akan bekerja untuk membiayai kuliah Albert.  Nanti setelah Albert lulus dan menjadi pelukis, maka Albert yang akan membiayai kuliah Hans.  Hans bekerja sebagai kuli bangunan.  Lalu Albert masuk ke sekolah seni lukis dan pahat.  Tahun demi tahun pun berlalu.  Akhirnya Albert lulus dari sekolahnya.  Dengan penuh semangat, ia pergi ke rumah Hans. 

Ketika tiba di rumah Hans, ia mengetuk pintu berulangkali, namun tidak ada jawabannya.  Lalu Albert mengintip dari jendela.  Apa yang dilihatnya?  Ternyata Hans sedang berlutut.  Kedua belah tangan sahabatnya itu mengarah ke atas.  Hans sedang berdoa sambil menangis: “Oh Tuhan, tanganku ini.  Tanganku sudah menjadi kaku dan kasar.  Tanganku sudah tidak bisa dipakai untuk melukis.  Biarlah Albert saja yang menjadi pelukis.”  Ternyata pekerjaan Hans sebagai seorang kuli bangunan telah membuat tangannya menjadi kaku dan kasar.  Ia tidak mungkin menjadi pelukis lagi.  Apa yang dilakukan Hans ini tentunya tidak bisa dilupakan Albert seumur hidupnya.  Itulah sebabnya, Albert mengabadikan kasih dan pengorbanan sahabatnya ini dengan membuat suatu lukisan yang diberi nama “Tangan Berdoa” atau Praying Hand yang sangat terkenal itu. 

Saudara-saudara, tentunya kita ingin memiliki sahabat seperti Hans.  Seorang sahabat yang penuh kasih dan rela berkorban bagi kita.  Mungkin kita juga ingin supaya kita menjadi sahabat yang terbaik bagi sahabat kita.  Persahabatan antara Albert dan Hans adalah satu dari sekian banyak contoh persahabatan sejati yang kita dambakan.  Namun, bagaimana caranya agar persahabatan ini dapat kita miliki?  Persahabatan sejati membutuhkan dasar yang kokoh.  Itulah sebabnya, kita perlu tahu bahwa persahabatan sejati dalam hidup orang percaya adalah persahabatan yang berdasarkan kasih dan kesetiaan.  Saudara-saudara, perikop yang baru saja kita baca ini juga merupakan kisah persahabatan sejati dalam Alkitab.  Kisah ini mirip dengan persahabatan Daud dan Yonatan di 1 Samuel 18:1-. 
.

Menanti Dengan Setia

Ilustrasi
Bertahun-tahun yang silam, seorang pemuda dengan kekasihnya datang ke pantai di malam hari untuk saling berpisah.  Sang pemuda hendak berlayar ke negeri yang jauh di seberang lautan dan mengadu nasib.  Ia mengumpulkan kayu bakar, menyalakan api unggun dan membicarakan rencana mereka.  Ia berjanji ketika ia kembali nanti, ia akan mengambil kekasihnya sebagai isteri.  Kemudian sang pemuda meminta kekasihnya untuk menyanyikan lagu kesayangan mereka, lagu cinta yang yang amat mereka sukai.  Setelah saling berucap janji setia untuk menanti, ia meminta kekasihnya untuk menyanyikan lagu itu satu kali lagi.  Ia berkata, “Aku akan kembali untukmu, dan aku akan membawamu ke sebuah rumah yang indah di pulau nan jauh di sana ke mana aku akan pergi.  Tapi sementara aku jauh darimu, aku akan kesepian, mungkin putus asa, dan setiap hari di waktu seperti ini, aku akan memikirkanmu dan mengingat kembali malam perpisahan ini.  Kemudian aku akan kembali di waktu yang sama seperti sekarang, dan ketika aku melihat api unggunmu dan mendengar nyanyianmu, aku tahu bahwa kamu telah setia dan tekun menanti.”  Dengan bercucuran air mata, sang gadis berjanji dan sambil mengucapkan salam perpisahan untuk terakhir kalinya, sang pemuda naik ke kapal dan berlayar di tengah gelapnya malam.  Ia pergi jauh untuk mengadu nasib dan entah apa yang akan ia dapat.
Keesokan malamnya, sesuai dengan janji, sang gadis datang ke pantai itu.  Ia berdiri di sisi api unggun dan menyanyikan lagu mereka sambil memikirkan dengan lembut kekasihnya yang telah pergi di kejauhan laut.  Malam demi malam ia memegang janjinya.  Bulan-bulan pun berlalu, kemudian tahun demi tahun, tapi setiap malam ia berdiri di samping api unggun dan menyanyikan lagu cinta mereka.  Teman-temannya menasehati agar ia berhenti datang ke pantai dan mencari orang lain.  Mereka mengatakan bahwa tentulah sang pemuda telah lupa akan janjinya dan tidak akan pernah kembali.  Tapi sang gadis memiliki keyakinan yang kokoh pada kekasihnya.  “Ia telah berjanji, maka ia pasti akan kembali untukku,” kata sang gadis.  Jumlah tahun yang banyak telah mengukir jejaknya di wajah dan rambut sang wanita, tapi tetap, kekasihnya tak kunjung datang.
Suatu malam, lebih semangat dari biasa, sang wanita datang ke tempat biasa di malam hari.  Harapan telah pupus rasanya, tapi dalam hatinya ia tahu bahwa ia harus setia.  Api meredup tertiup angin pantai, dan iapun mengumpulkan kayu bakar sekali lagi.  Ia menyanyikan kembali lagu yang telah dinyanyikan ribuan kali.  Ketika ia hendak pulang ke rumahnya, ia mendengar suara dayuhan kapal di kejauhan.  Mungkin seorang nelayan yang pulang malam.  Tapi pengharapan cinta wanita ini membuatnya gigih, ia menyalakan api yang baru sekali lagi, dan sekali lagi menanyikan lagu cinta mereka.  Kapal itu mendekat dan semakin mendekat.  Dan pemuda itu yang juga telah menjadi tua datang.  Ia turun dari kapal dan mengenggam tangan kekasihnya, “Aku telah menunggu untuk melihat apimu dan mendengar lagu kita,” ia berkata.  “Dan aku tahu, engkau dengan siap sedia senantiasa menanti.  Marilah kita pergi ke rumah indah yang telah kubangun untukmu di seberang sana.”
Sang wanita menanti dengan siap sedia, karena ia melakukan apa yang diinginkan oleh kekasihnya.  Ia menyalakan api dan menyanyikan lagu mereka.  melakukan apa yang diinginkan kekasihnya karena ia mengenal kekasihnya.  Sebagai orang Kristen, kita juga sedang menantikan Kekasih kita.  Dalam penantian itu, dibutuhkan lebih dari sekadar penantian pasif, yaitu sebuah kesiap-sediaan.  Untuk dapat siap sedia, kita harus tahu apa yang Ia inginkan ketika Ia mendapati kita?  Demi mengetahuinya, kita harus mengenal Dia. 


Berkat atau Kutuk

Ilustrasi: Berkat atau Kutuk

Pernah ada seorang tua yang hidup di desa kecil. Meskipun ia miskin, semua orang cemburu kepadanya karena ia memiliki kuda putih cantik. Bahkan raja menginginkan hartanya itu. Kuda seperti itu belum pernah di lihat begitu kemegahannya, keagungannya dan kekuatannya.

Orang menawarkan harga amat tinggi untuk kuda jantan itu, tetapi orang tua itu selalu menolak, "Kuda ini bukan kuda bagi saya," ia akan mengatakan. "Ia adalah seperti seseorang. Bagaimana kita dapat menjual seseorang. Ia adalah sahabat bukan milik. Bagaimana kita dapat menjual seorang sahabat." Orang itu miskin dan godaan besar. Tetapi ia tetap tidak menjual kuda itu.

Suatu pagi ia menemukan bahwa kuda itu tidak ada di kandangnya. Seluruh desa datang menemuinya. "Orang tua bodoh," mereka mengejek dia, "sudah kami katakan bahwa seseorang akan mencuri kudamu. Kami sudah peringatkan bahwa kamu akan di rampok. Anda begitu miskin. Mana mungkin anda dapat melindungi binatang yang begitu berharga? Sebaiknya anda sudah menjualnya. Anda boleh minta harga apa saja. Harga setinggi apapun akan di bayar juga. Sekarang kuda itu hilang dan anda dikutuk oleh kemalangan."

Orang tua itu menjawab, "Jangan bicara terlalu cepat. Katakan saja bahwa kuda itu tidak berada di kandangnya. Itu saja yang kita tahu; selebihnya adalah penilaian. Apakah saya di kutuk atau tidak, bagaimana Anda dapat ketahui itu? Bagaimana Anda dapat menghakimi?"

Orang protes, "Jangan menggambarkan kita sebagai orang bodoh! Mungkin kita bukan ahli filsafat, tetapi filsafat hebat tidak di perlukan. Fakta sederhana bahwa kudamu hilang adalah kutukan."

Orang tua itu berbicara lagi, "Yang saya tahu hanyalah bahwa kandang itu kosong dan kuda itu pergi. Selebihnya saya tidak tahu. Apakah itu kutukan atau berkat, saya tidak dapat katakan. Yang dapat kita lihat hanyalah sepotong saja. Siapa tahu apa yang akan terjadi nanti?"


Orang-orang desa tertawa. Menurut mereka orang itu gila. Mereka memang selalu menganggap dia orang tolol; kalau tidak, ia akan menjual kuda itu dan hidup dari uang yang diterimanya. Sebaliknya, ia seorang tukang potong kayu miskin, orang tua yang memotong kayu bakar dan menariknya keluar hutan lalu menjualnya. Uang yang ia terima hanya cukup untuk membeli makanan, tidak lebih. Hidupnya sengsara sekali. Sekarang ia sudah membuktikan bahwa ia betul-betul tolol.

Sesudah lima belas hari, kuda itu kembali. Ia tidak di curi, ia lari ke dalam hutan. Ia tidak hanya kembali, ia juga membawa sekitar selusin kuda liar bersamanya. Sekali lagi penduduk desa berkumpul di sekeliling tukang potong kayu itu dan mengatakan, "Orang tua, kamu benar dan kami salah. Yang kami anggap kutukan sebenarnya berkat. Maafkan kami."

Jawab orang itu, "Sekali lagi kalian bertindak gegabah. Katakan saja bahwa kuda itu sudah balik. Katakan saja bahwa selusin kuda balik bersama dia, tetapi jangan menilai. Bagaimana kalian tahu bahwa ini adalah berkat? Anda hanya melihat sepotong saja. Kecuali kalau kalian sudah mengetahui seluruh cerita, bagaimana anda dapat menilai? Kalian hanya membaca satu halaman dari sebuah buku. Dapatkah kalian menilai seluruh buku? Kalian hanya membaca satu kata dari sebuah ungkapan. Apakah kalian dapat mengerti seluruh ungkapan? Hidup ini begitu luas, namun Anda menilai seluruh hidup berdasarkan satu halaman atau satu kata. Yang anda tahu hanyalah sepotong! Jangan katakan itu adalah berkat. Tidak ada yang tahu. Saya sudah puas dengan apa yang saya tahu. Saya tidak terganggu karena apa yang saya tidak tahu."

"Barangkali orang tua itu benar," mereka berkata satu kepada yang lain. Jadi mereka tidak banyak berkata-kata. Tetapi di dalam hati mereka tahu ia salah. Mereka tahu itu adalah berkat. Dua belas kuda liar pulang bersama satu kuda. Dengan kerja sedikit, binatang itu dapat dijinakkan dan dilatih, kemudian dijual untuk banyak uang.

Orang tua itu mempunyai seorang anak laki-laki. Anak muda itu mulai menjinakkan kuda-kuda liar itu. Setelah beberapa hari, ia terjatuh dari salah satu kuda dan kedua kakinya patah. Sekali lagi orang desa berkumpul sekitar orang tua itu dan menilai.

"Kamu benar," kata mereka, "Kamu sudah buktikan bahwa kamu benar. Selusin kuda itu bukan berkat. Mereka adalah kutukan. Satu-satunya puteramu patah kedua kakinya dan sekarang dalam usia tuamu kamu tidak ada siapa-siapa untuk membantumu. Sekarang kamu lebih miskin lagi."

Orand tua itu berbicara lagi, "Ya, kalian kesetanan dengan pikiran untuk menilai, menghakimi. Jangan keterlaluan. Katakan saja bahwa anak saya patah kaki. Siapa tahu itu berkat atau kutukan? Tidak ada yang tahu. Kita hanya mempunyai sepotong cerita. Hidup ini datang sepotong-sepotong."

Maka terjadilah 2 minggu kemudian negeri itu berperang dengan negeri tetangga. Semua anak muda di desa diminta untuk menjadi tentara. Hanya anak si orang tua tidak diminta karena ia sedang terluka. Sekali lagi orang berkumpul sekitar orang tua itu sambil menangis dan berteriak karena anak-anak mereka sudah dipanggil untuk bertempur. Sedikit sekali kemungkinan mereka akan kembali. Musuh sangat kuat dan perang itu akan dimenangkan musuh. Mereka mungkin tidak akan melihat anak-anak mereka kembali.

"Kamu benar, orang tua," mereka menangis, "Tuhan tahu kamu benar. Ini membuktikannya. Kecelakaan anakmu merupakan berkat. Kakinya patah, tetapi paling tidak ia ada bersamamu. Anak-anak kami pergi untuk selama-lamanya".

Orang tua itu berbicara lagi, "Tidak mungkin untuk berbicara dengan kalian. Kalian selalu menarik kesimpulan. Tidak ada yang tahu. Katakan hanya ini: anak-anak kalian harus pergi berperang, dan anak saya tidak. Tidak ada yang tahu apakah itu berkat atau kutukan. Tidak ada yang cukup bijaksana untuk mengetahui. Hanya Allah yang tahu."

* * * *


Orang tua itu benar. Kita hanya tahu sepotong dari seluruh kejadian. Kecelakaan-kecelakaan dan kengerian hidup ini hanya merupakan satu halaman dari buku besar. Kita jangan terlalu cepat menarik kesimpulan. Kita harus simpan dulu penilaian kita dari badai-badai kehidupan sampai kita ketahui seluruh cerita.

Saya tidak tahu dari mana si tukang kayu belajar menjaga kesabarannya. Mungkin dari tukang kayu lain di Galelia. Sebab tukang kayu itulah yang paling baik mengungkapkannya:

"Janganlah kamu kuatir akan hari esok, karena hari besok mempunyai kesusahannya sendiri."

Ia adalah yang paling tahu. Ia menulis cerita kita. Dan Ia sudah menulis bab yang terakhir. (In The Eye of The Storm - Max Lucado) ( Sumber : Renungan Kristen Ilustrasi Khotbah )

1 komentar: