Anak Sapi Untuk Tuhan
Hendaklah masing-masing memberikan menurut kerelaan hatinya, jangan dengan sedih hati atau karena paksaan, sebab Allah mengasihi orang yang memberi dengan sukacita. (2 Kor 9:7)
Suatu hari seorang petani Kristen berkata kepada isterinya bahwa ia
ingin memberikan suatu persembahan untuk pekerjaan Tuhan. Saat itu salah
satu sapi betinanya sedang hamil dan beberapa hari lagi akan
melahirkan. Karena itu ia berkata bahwa nanti ia akan mempersembahkan
anak sapi itu kepada Tuhan.
Beberapa hari pun berlalu dan tibalah waktu bagi induk sapi itu untuk
melahirkan. Ternyata, induk sapi itu melahirkan dua ekor anak sapi.
Petani itupun menjadi bingung. Dia mulai berpikir-pikir anak sapi yang
manakah yang akan dipersembahkannya kepada Tuhan. Ketika isterinya
menanyakan hal itu, ia pun menjawab: “Biarkanlah anak-anak sapi itu
bertumbuh lebih besar terlebih dahulu. Setelah mereka cukup besar,
barulah akan kuputuskan anak sapi mana yang akan kupersembahkan kepada
Tuhan.”
Seminggu kemudian daerah itu diserang wabah penyakit ternak. Salah
satu dari kedua anak sapi milik petani Kristen itupun terjangkit
penyakit tersebut dan tidak dapat diselamatkan alias mati. Ketika petani
itu mendapati bahwa anak sapinya itu mati, ia segera keluar kandang dan
lari menuju rumahnya serta berkata kepada isterinya: “Bu, aku baru saja
dari kandang dan kudapati bahwa sapinya Tuhan mati.”
Isterinya pun keheranan dan bertanya: “Apa? Sapinya Tuhan? Bukankah
engkau belum memutuskan sapi mana yang hendak kau persembahkan?”
Petani itupun menjawab: “Ya, kemarin memang belum kuputuskan, tetapi
tadi ketika aku berada di kandang telah kuputuskan bahwa yang mati itu
adalah sapinya Tuhan.”
Betapa seringnya kita berlaku seperti petani itu. Kita tidak mau
memberikan yang terbaik bagi Tuhan. Ketika berada dalam kondisi yang
buruk dan sengsara, kita datang kepada Tuhan. Akan tetapi, ketika kita
berada dalam kondisi yang baik dan menyenangkan, kita pergi dan
melupakan Tuhan. Ketika kita dapati bahwa anak kita kurang pandai dan
kurang cerdas, kita dorong dia masuk sekolah Alkitab agar dapat melayani
Tuhan. Akan tetapi, ketika kita dapati bahwa anak kita cukup pandai dan
cerdas, kita dorong dia masuk fakultas lain agar dapat mengejar
cita-citanya dan menjadi orang sukses. Kita mengambil yang terbaik bagi
diri kita sendiri dan menyerahkan yang buruk kepada Tuhan.
Marilah kita merenungkan kembali kebesaran kasih Allah pada
kita. Demi menyelamatkan kita yang berdosa ini, Allah rela menyerahkan
Putra-Nya yang tunggal, yang sedemikian dikasihi-Nya, agar kita dapat
beroleh hidup kekal (bd. Yoh 3:16). Demi membebaskan kita dari murka dan
hukuman Allah yang dahsyat, Yesus rela merendahkan diri-Nya, menjelma
menjadi manusia, dan mati secara terhina di atas kayu salib, untuk
menebus segala dosa kita (bd. Flp 2:6-8). Allah telah mengaruniakan
anugerah yang sedemikian besar dan tak ternilai harganya kepada kita.
Bila kita sungguh-sungguh menyadari anugerah Allah yang sedemikian
besar itu, tentu kita akan dengan rela hati mempersembahkan seluruh
hidup kita bagi kemuliaan-Nya. Kita tak akan segan-segan menyerahkan
segala sesuatu yang kita miliki kepada-Nya sebagai ungkapan rasa syukur
kita atas kebesaran anugerah-Nya. Kesadaran kita akan besarnya anugerah
Allah dalam hidup kita mendorong kita memberikan yang terbaik bagi
kemuliaan-Nya.
Jadi, sudahkah anda menyadari besarnya anugerah Allah dalam hidup anda?
( Sumber : Ilustrasi Kristen )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar